widgets

Jadwal Pengajian Mingguan Kaum Bapak Setiap Malam Rabu ,Ba'da Isya

Jadwal Pengajian Mingguan Kaum Ibu Setiap Hari Rabu ,Ba'da Dzuhur

Jadwal Pengajian Mingguan Kaum Remaja Setiap Malam Selasa ,Ba'da Isya

"Barang siapa yang menempuh satu jalan untuk menuntut ilmu maka Allah akan mempermudah jalannya menuju surga”(HR.Muslim).

Sekretariat : Jl. Al-Mubarok III RT.003 /02 No.129 Kel. Joglo , Kec. Kembangan, Jakarta - Barat 11650 Telp : 0813 8493 1493

Rabu, 27 Juli 2011

Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus ( LUAR BATANG )

Bismillahir Rahmanir Rahiim
Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus dilahirkan di Yaman Selatan, tepatnya di daerah Hadhramaut, tiga abad yang silam. Ia dilahirkan sebagai anak yatim, yang dibesarkan oleh seorang ibu dimana sehari-harinya hidup dari hasil memintal benang pada perusahaan tenun tradisional. Husein kecil sungguh hidup dalam kesederhanaan.
Setelah memasuki usia belia, sang ibu menitipkan Habib Husein pada seorang “Alim Shufi”. Disanalah ia menerima tempaan pembelajaran thariqah. Di tengah-tengah kehidupan di antara murid-murid yang lain, tampak Habib Husein memiliki perilaku dan sifat-sifat yang lebih dari teman-temannya.
Kini, Al Habib Husein telah menginjak usia dewasa. Setiap ahli thariqah senantiasa memiliki panggilan untuk melakukan hijrah, dalam rangka mensiarkan islam ke belahan bumi Allah. Untuk melaksanakan keinginan tersebut Habib Husein tidak kekurangan akal, ia bergegas menghampiri para kafilah dan musafir yang sedang melakukan jual-beli di pasar pada setiap hari Jum’at.
Setelah dipastikan mendapatkan tumpangan dari salah seorang kafilah yang hendak bertolak ke India, maka Habib Husein segera menghampiri ibunya untuk meminta ijin.
Walau dengan berat hati, seorang ibu harus melepaskan dan merelakan kepergian puteranya. Habib Husein mencoba membesarkan hati ibunya sambil berkata : “janganlah takut dan berkecil hati, apapun akan ku hadapi, senantiasa bertakwalah kepada Allah, sesungguhnya ia bersama kita.” Akhirnya berangkatlah Al Habib Husein menuju daratan India.
Sampailah Al Habib Husein di sebuah kota bernama “Surati” atau lebih dikenal kota Gujarat, sedangkan penduduknya beragama Budha. Mulailah Habib Husein mensi’arkan Islam dikota tersebut dan kota-kota sekitarnya.
Kedatangan Habib Husein di kota tersebut membawa Rahmatan Lil-Alamin. Karena daerah yang asalnya kering dan tandus, kemudian dengan kebesaran Allah maka berubah menjadi daerah yang subur. Agama Islam pun tumbuh berkembang.
Hingga kini belum ditemukan sumber yang pasti berapa lama Habib Husein bermukim di India. Tidak lama kemudian ia melanjutkan misi hijrahnya menuju wilayah Asia Tenggara, hingga sampai di pulau Jawa, dan menetap di kota Batavia, sebutan kota Jakarta tempo dulu.
Batavia adalah pusat pemerintahan Belanda, dan pelabuhannya adalah Sunda Kelapa. Maka tidak heran kalau pelabuhan itu dikenal sebagai pelabuhan yang teramai dan terbesar di jamannya. Pada tahun 1736 M datanglah Al-Habib Husein bersama para pedagang dari Gujarat di pelabuhan Sunda Kelapa.
Disinilah tempat persinggahan terakhir dalam mensyiarkan Islam. Beliau mendirikan Surau sebagai pusat pengembangan ajaran Islam. Ia banyak di kunjungi bukan saja dari daerah sekitarnya, melainkan juga datang dari berbagai daerah untuk belajar Islam atau banyak juga yang datang untuk di do’akan.
Pesatnya pertumbuhan dan minat orang yang datang untuk belajar agama Islam ke Habib Husein mengundang kesinisan dari pemerintah VOC, yang di pandang akan menggangu ketertiban dan keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya di jatuhi hukuman, dan ditahan di penjara Glodok.
Istilah karomah secara estimologi dalam bahasa arab berarti mulia, sedangkan dalam kamus besar bahasa Indonesia (terbitan balai pustaka, Jakarta 1995, hal 483) menyebutkan karomah dengan keramat, diartikan suci dan dapat mengadakan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa karena ketakwaannya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam ajaran Islam karomah di maksudkan sebagai khariqun lil adat yang berarti kejadian luar biasa pada seseorang wali Allah. Karomah merupakan tanda-tanda kebenaran sikap dan tingkah laku seseorang, yang merupakan anugrah Allah karena ketakwaannya, berikut ini terdapat beberapa karomah yang dimiliki oleh Al Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus atau yang kita kenal Habib Luar Batang, seorang wali Allah yang lahir di Jasirah Arab dan telah ditakdirkan wafat di Pulau Jawa, tepatnya di Jakarta Utara.
1. Menjadi mesin pemintal
Di masa belia, ditanah kelahirannya yaitu di daerah Hadhramaut – Yaman Selatan, Habib Husein berguru pada seorang Alim Shufi. Di hari-hari libur ia pulang untuk menyambang ibunya.
Pada suatu malam ketika ia berada di rumahnya, ibu Habib Husein meminta tolong agar ia bersedia membantu mengerjakan pintalan benang yang ada di gudang. Habib Husein segera menyanggupi, dan ia segera ke gudang untuk mengerjakan apa yang di perintahkan oleh ibunya. Makan malam juga telah disediakan. Menjelang pagi hari, ibu Husein membuka pintu gudang. Ia sangat heran karena makanan yang disediakan masih utuh belum dimakan husein. Selanjutnya ia sangat kaget melihat hasil pintalan benang begitu banyaknya. Si ibu tercengang melihat kejadian ini. Dalam benaknya terpikir bagaimana mungkin hasil pemintalan benang yang seharusnya dikerjakan dalam beberapa hari, malah hanya dikerjakan kurang dari semalam, padahal Habib Husein dijumpai dalam keadaan tidur pulas disudut gudang.
Kejadian ini oleh ibunya diceritakan kepada guru thariqah yang membimbing Habib Husein. Mendengar cerita itu maka ia bertakbir sambil berucap : “ sungguh Allah berkehendak pada anakmu, untuk di perolehnya derajat yang besar disisi-Nya, hendaklah ibu berbesar hati dan jangan bertindak keras kepadanya, rahasiakanlah segala sesuatu yang terjadi pada anakmu.”
2. Menyuburkan Kota Gujarat
Hijrah pertama yang di singgahi oleh Habib Husein adalah di daratan India, tepatnya di kota Surati atau lebih dikenal Gujarat. Kehidupan kota tersebut bagaikan kota mati karena dilanda kekeringan dan wabah kolera.
Kedatangan Habib Husein di kota tersebut di sambut oleh ketua adat setempat, kemudian ia dibawa kepada kepala wilayah serta beberapa penasehat para normal, dan Habib Husein di perkenalkan sebagai titisan Dewa yang dapat menyelamatkan negeri itu dari bencana.
Habib Husein menyangupi bahwa dengan pertolongan Allah, ia akan merubah negeri ini menjadi sebuah negeri yang subur, asal dengan syarat mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menerima Islam sebagai agamanya. Syarat tersebut juga mereka sanggupi dan berbondong-bondong warga di kota itu belajar agama Islam.
Akhirnya mereka di perintahkan untuk membangun sumur dan sebuah kolam. Setelah pembangunan keduanya di selesaikan, maka dengan kekuasaan Allah turun hujan yang sangat lebat, membasahi seluruh daratan yang tandus. Sejak itu pula tanah yang kering berubah menjadi subur. Sedangkan warga yang terserang wabah penyakit dapat sembuh, dengan cara mandi di kolam buatan tersebut. Dengan demikian kota yang dahulunya mati, kini secara berangsur-angsur kehidupan masyarakatnya menjadi sejahtera.
3. Mengislamkan tawanan
Setelah tatanan kehidupan masyarakat Gujarat berubah dari kehidupan yang kekeringan dan hidup miskin menjadi subur serta masyarakatnya hidup sejahtera, maka Habib Husein melanjutkan hijrahnya ke daratan Asia Tenggara untuk tetap mensiarkan Islam. Beliau menuju pulau Jawa, dan akhirnya menetap di Batavia. Pada masa itu hidup dalam jajahan pemerintahan VOC Belanda.
Pada suatu malam Habib Husein dikejutkan oleh kedatangan seorang yang berlari padanya karena di kejar oleh tentara VOC. Dengan pakaian basah kuyub ia meminta perlindungan karena akan dikenakan hukuman mati. Ia adalah tawanan dari sebuah kapal dagang Tionghoa.
Keesokan harinya datanglah pasukan tentara berkuda VOC ke rumah Habib Husein untuk menangkap tawanan yang dikejarnya. Beliau tetap melindungi tawanan tersebut, sambil berkata : “Aku akan melindungi tawanan ini dan aku adalah jaminannya.”
Rupanya ucapan tersebut sangat di dengar oleh pasukan VOC. Semua menundukkan kepala dan akhirnya pergi, sedangkan tawanan Tionghoa itu sangat berterima kasih, sehingga akhirnya ia memeluk Islam.
4. Menjadi Imam di Penjara
Dalam masa sekejab telah banyak orang yang datang untuk belajar agama Islam. Rumah Habib Husein banyak dikunjungi para muridnya dan masyarakat luas. Hilir mudiknya umat yang datang membuat penguasa VOC menjadi khawatir akan menggangu keamanan. Akhirnya Habib Husein beserta beberapa pengikut utamanya ditangkap dan di masukan ke penjara Glodok. Bangunan penjara itu juga dikenal dengan sebutan “Seksi Dua.”
Rupanya dalam tahanan Habib Husein ditempatkan dalam kamar terpisah dan ruangan yang sempit, sedangkan pengikutnya ditempatkan di ruangan yang besar bersama tahanan yang lain.
Polisi penjara dibuat terheran-heran karena ditengah malam melihat Habib Husein menjadi imam di ruangan yang besar, memimpin shalat bersama-sama para pengikutnya. Hingga menjelang subuh masyarakat di luar pun ikut bermakmum. Akan tetapi anehnya dalam waktu yang bersamaan pula polisi penjara tersebut melihat Habib Husein tidur nyenyak di kamar ruangan yang sempit itu, dalam keadaan tetap terkunci.
Kejadian tersebut berkembang menjadi buah bibir dikalangan pemerintahan VOC. Dengan segala pertimbangan akhirnya pemerintah Belanda meminta maaf atas penahanan tersebut, Habib Husein beserta semua pengikutnya dibebaskan dari tahanan.
5. Si Sinyo menjadi Gubernur
Pada suatu hari Habib Husein dengan ditemani oleh seorang mualaf Tionghoa yang telah berubah nama Abdul Kadir duduk berteduh di daerah Gambir. Disaat mereka beristirahat lewatlah seorang Sinyo (anak Belanda) dan mendekat ke Habib Husein. Dengan seketika Habib Husein menghentakan tangannya ke dada anak Belanda tersebut. Si Sinyo kaget dan berlari ke arah pembantunya.
Dengan cepat Habib Husein meminta temannya untuk menghampiri pembantu anak Belanda tersebut, untuk menyampaikan pesan agar disampaikan kepada majikannya, bahwa kelak anak ini akan menjadi seorang pembesar di negeri ini.
Seiring berjalannya waktu, anak Belanda itu melanjutkan sekolah tinggi di negeri Belanda. Kemudian setelah lulus ia di percaya di angkat menjadi Gubernur Batavia.
6. Cara Berkirim Uang
Gubernur Batavia yang pada masa kecilnya telah diramal oleh Habib Husein bahwa kelak akan menjadi orang besar di negeri ini, ternyata memang benar adanya. Rupanya Gubernur muda itu menerima wasiat dari ayahnya yang baru saja meninggal dunia. Di wasiatkan kalau memang apa yang dikatakan Habib Husein menjadi kenyataan diminta agar ia membalas budi dan jangan melupakan jasa Habib Husein.
Akhirnya Gubernur Batavia menghadiahkan beberapa karung uang kepada Habib Husein. Uang itu diterimanya, tetapi dibuangnya ke laut. Demikian pula setiap pemberian uang berikutnya, Habib Husein selalu menerimanya, tetapi juga dibuangnya ke laut. Gubernur yang memberi uang menjadi penasaran dan akhirnya bertanya mengapa uang pemberiannya selalu di buang ke laut. Dijawabnya oleh Habib Husein bahwa uang tersebut dikirimkan untuk ibunya ke Yaman.
Gubernur itu dibuatnya penasaran, akhirnya diperintahkan penyelam untuk mencari karung uang yang di buang ke laut, walhasil tak satu keeping uang pun diketemukan. Selanjutnya Gubernur Batavia tetap berupaya untuk membuktikan kebenaran kejadian ganjil tersebut, maka ia mengutus seorang ajudan ke negeri Yaman untuk bertemu dan menanyakan kepada ibu Habib Husein.
Sekembalinya dari Yaman, ajudan Gubernur tersebut melaporkan bahwa benar adanya. Ibu Habib Husein telah menerima sejumlah uang yang di buang ke laut tersebut pada hari dan tanggal yang sama.
7. Kampung Luar Batang
Makam Luar BatangGubernur Batavia sangat penuh perhatian kepada Habib Husein. Ia menanyakan apa keinginan Habib Husein. Jawabnya : “Saya tidak mengharapkan apapun dari tuan.” Akan tetapi Gubernur itu sangat bijak, dihadiahkanlah sebidang tanah di kampung baru, sebagai tempat tinggal dan peristirahatan yang terakhir.
Habib Husein telah di panggil dalam usia muda, ketika berumur kurang lebih 30-40 tahun. Meninggal pada hari kamis tanggal 17 Ramadhan 1169 atau bertepatan tanggal 27 Juni 1756 M. sesuai dengan peraturan pada masa itu bahwa setiap orang asing harus di kuburkan di pemakaman khusus yang terletak di Tanah Abang.
Sebagai mana layaknya, jenasah Habib Husein di usung dengan kurung batang (keranda). Ternyata sesampainya di pekuburan jenasa Habib Husein tidak ada dalam kurung batang. Anehnya jenasah Habib Husein kembali berada di tempat tinggal semula. Dalam bahasa lain jenasah Habib Husein keluar dari kurung batang, pengantar jenasah mencoba kembali mengusung jenasah Habib Husein ke pekuburan yang dimaksud, namun demikian jenasah Habib Husein tetap saja keluar dan kembali ke tempat tinggal semula.
Akhirnya para pengantar jenasah memahami dan bersepakat untuk memakamkan jenasa Habib Husein di tempat yang merupakan tempat rumah tinggalnya sendiri. Kemudian orang menyebutnya “Kampung Baru Luar Batang” dan kini dikenal sebagai “Kampung Luar Batang.”
Catatan :
Pengalaman masa lampau, tersiar khabar bahwa Al-Habib Husein membuang sejumlah uang ke laut di daerah “Pasar Ikan”. Tidak henti-hentinya para pengunjung menyelami tempat itu. Dengan bukti nyata, mereka mendapatkannya, sedangkan pada waktu itu, untuk dapat bekerja masih sukar di peroleh. Satu-satunya mata pencaharian yang mudah dikerjakan ialah, menyelam di laut. Dengan demikian, bangkitlah keramaian dikawasan kota tersebut, sehingga timbullah istilah “Mencari Duit ke Kota”
Penutup
1. Perayaan-perayaan tahunan di Makam Keramat Luar Batang.
a. Perayaan/peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW, pada minggu terakhir di bulan Rabi’ul Awwal.
b. Perayaan/peringatan haulnya Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus Keramat Luar Batang pada minggu terakhir di bulan Syawal.
c. Perayaan “akhir ziarah” pada bulan Sya’ban, yaitu pada 3 (tiga) hari atau 7 (tujuh) hari menjelang bulan suci Ramadhan.
2. Sumber Riwayat ini di peroleh dari :
a. Nara Sumber, sesepuh keluarga Al-Habib Husein bin Abu Bakar Alaydrus ialah Almarhumah Syarifah Muznah binti Husein Alaydus, kakak kandung Al-Habib Abu Bakar bin Husein Alaydrus, diceritakan kembali oleh penulis, semoga Allah SWT memberikan rahmat dan Maghfirah-Nya….Amiin.
b. Diktat sejarah Kampung Luar Batang, oleh Pemerintah Daerah Khusus Ibukota Jakarta/Dinas Museum dan Sejarah, 1982/1983.

Al Imam Al Faqih Al Muqaddam

[Al-Imam Al-Faqih Al-Muqaddam Muhammad - Ali - Muhammad Shohib Mirbath - Ali Khali' Qasam - Alwi - Muhammad - Alwi - Ubaidillah - Ahmad Al-Muhajir - Isa Ar-Rumi - Muhammad An-Naqib - Ali Al-'Uraidhi - Ja'far Ash-Shodiq - Muhammad Al-Baqir - Ali Zainal Abidin - Husain - Fatimah Az-Zahro - Muhammad SAW]

Beliau adalah Al-Imam Muhammad bin Ali bin Muhammad
Shohib Mirbath bin Ali Khali’ Qasam bin Alwi bin Muhammad
bin Alwi bin Ubaidillah bin Al-Imam Al-Muhajir Ahmad bin Isa,
dan terus bersambung nasabnya sampai Rasulullah SAW. Beliau
dijuluki dengan Al-Faqih Al-Muqaddam (seorang faqih yang
diunggulkan).
Beliau adalah al-’arif billah, seorang ulama besar, pemuka para imam
dan guru, suri tauladan bagi al-’arifin, penunjuk jalan bagi as-salikin,
seorang qutub yang agung, imam bagi Thariqah Alawiyyah, seorang
yang mendapatkan kewalian rabbani dan karomah yang luar biasa,
seorang yang mempunyai jiwa yang bersih dan perjalanan hidupnya
terukir dengan indah.
Beliau adalah seorang yang diberikan keistimewaan oleh Allah SWT,
sehingga beliau mampu menyingkap rahasia ayat-ayat-Nya. Ditambah
lagi Allah memberikannya kemampuan untuk menguasai berbagai
macam ilmu, baik yang dhohir ataupun yang bathin.
Beliau dilahirkan pada tahun 574 H. Beliau mengambil ilmu dari para
ulama besar di jamannya. Di antaranya adalah Al-Imam Al-Allamah Al-
Faqih Abul Hasan Ali bin Ahmad bin Salim Marwan Al-Hadhrami At-
Tarimi. Al-Imam Abul Hasan ini adalah seorang guru yang agung,
pemuka para ulama besar di kota Tarim. Selain itu beliau (Al-Faqih Al-
Muqaddam) juga mengambil ilmu dari Al-Faqih Asy-Syeikh Salim bin
Fadhl dan Al-Imam Al-Faqih Abdullah bin Abdurrahman bin Abu Ubaid
(pengarang kitab Al-Ikmal Ala At-Tanbih). Gurunya itu, yakni Al-Imam
Abdullah bin Abdurrahman, tidak memulai pelajaran kecuali kalau Al-
Faqih Al-Muqaddam sudah hadir. Selain itu beliau (Al-Fagih Al-
Muqaddam) juga mengambil ilmu dari beberapa ulama besar lainnya,
diantaranya Al-Qadhi Al-Faqih Ahmad bin Muhammad Ba’isa, Al-Imam
Muhammad bin Ahmad bin Abul Hubbi, Asy-Syeikh Sufyan Al-Yamani,
As-Sayyid Al-Imam Al-Hafidz Ali bin Muhammad bin Jadid, As-Sayyid
Al-Imam Salim bin Bashri, Asy-Syeikh Muhammad bin Ali Al-Khatib,
Asy-Syeikh As-Sayyid Alwi bin Muhammad Shohib Mirbath (paman
beliau) dan masih banyak lagi.
Dalam mengambil sanad keilmuan dan thariqahnya, beliau mengambil
dari dua jalur sekaligus. Jalur pertama adalah beliau mengambil dari
orangtua dan pamannya, orangtua dan pamannya mengambil dari
kakeknya, dan terus sambung-menyambung dan akhirnya sampai
kepada Rasulullah SAW. Adapun jalur yang kedua, beliau mengambil
dari seorang ulama besar dan pemuka ahli sufi, yaitu Sayyidina Asy-
Syeikh Abu Madyan Syu’aib, melalui dua orang murid Asy-Syeikh Abu

Madyan, yaitu Abdurrahman Al-Maq’ad Al-Maghrobi dan Abdullah Ash-
Sholeh Al-Maghrobi. Kemudian Asy-Syeikh Abu Madyan mengambil
dari gurunya, gurunya mengambil dari gurunya, dan terus sambungmenyambung
dan akhirnya sampai kepada Rasulullah SAW.
Di masa-masa awal pertumbuhannya, beliau menjalaninya dengan
penuh kesungguhan dan mencari segala hal yang dapat mendekatkan
diri kepada Allah. Beliau berpegang teguh pada Kitab Allah dan
Sunnah Rasulullah, serta mengikuti jejak-jejak para Sahabat Nabi dan
para Salafus Sholeh. Beliau ber-mujahadah dengan keras dalam
mendidik akhlaknya dan menghiasinya dengan adab-adab yang sesuai
dengan syariah.
Beliau juga giat dalam menuntut ilmu, sehingga mengungguli ulamaulama
di jamannya dalam penguasaan berbagai macam ilmu. Para
ulama di jamannya pun mengakui akan ketinggian dan penguasaannya
dalam berbagai macam ilmu. Mereka juga mengakui kesempurnaan
yang ada pada diri beliau untuk menyandang sebagai imam di
jamannya.
Mujahadah beliau di masa-masa awal pertumbuhannya bagaikan
mujahadahnya orang-orang yang sudah mencapai maqam al-’arif
billah. Allah-lah yang mengaruniai kekuatan dan keyakinan di dalam
diri beliau. Allah-lah juga yang mengaruniai beliau berbagai macam
keistimewaan dan kekhususan yang tidak didapatkan oleh para qutub
yang lainnya. Hati beliau tidak pernah kosong sedetikpun untuk selalu
berhubungan dengan Allah. Sehingga tampak pada diri beliau asrar,
waridad, mawahib dan mukasyafah.
Beliau adalah seorang yang tawadhu dan menyukai ketertutupan di
setiap keadaannya. Beliau pernah berkirim surat kepada seorang
pemuka para ahli sufi yang bernama Asy-Syeikh Sa’ad bin Ali Adz
Dzofari.
Setelah Asy-Syeikh Sa’ad membaca surat itu dan merasakan
kedalaman isi suratnya, ia terkagum-kagum dan merasakan asrar dan
anwar yang ada di dalamnya. Kemudian ia membalas surat tersebut,
dan di akhir suratnya ia berkata, “Engkau, wahai Faqih, orang yang
diberikan karunia oleh Allah yang tidak dipunyai oleh siapapun. Engkau
adalah orang yang paling mengerti dengan syariah dan haqiqah, baik
yang dhohir maupun yang bathin.”
Berkata Al-Imam Asy-Syeikh Abdurrahman As-Saggaf tentang diri Al-
Faqih Al-Muqaddam, “Aku tidak pernah melihat atau mendengar suatu
kalam yang lebih kuat daripada kalamnya Al-Faqih Muhammad bin Ali,
kecuali kalamnya para Nabi alaihimus salam. Kami tidak dapat
mengunggulkan seorang wali pun terhadapnya (Al-Faqih Al-
Muqaddam), kecuali dari golongan Sahabat Nabi, atau orang yang
diberikan kelebihan melalui Hadits seperti Uwais (Al-Qarni) atau
selainnya.”
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, pernah berkata, “Aku terhadap
masyakaratku seperti awan.” Suatu hari dikisahkan bahwa beliau
pernah tertinggal pada saat ziarah ke kubur Nabiyallah Hud alaihis
salam. Beliau berkisah, “Pada suatu saat aku duduk di suatu tempat
yang beratap tinggi. Tiba-tiba datanglah Nabiyallah Hud ke tempatku
sambil membungkukkan badannya agar tak terkena atap. Lalu ia
berkata kepadaku, ‘Wahai Syeikh, jika engkau tidak berziarah
kepadaku, maka aku akan berziarah kepadamu.’”
Dikisahkan juga bahwa pada suatu saat ketika beliau sedang dudukduduk
bersama para sahabatnya, datanglah Nabi Khidir alaihis salam
menyerupai seorang badui dan diatas kepalanya terdapat kotoran.
Bangunlah Al-Faqih Al-Muqaddam, lalu mengambil kotoran tersebut
dari kepalanya dan kemudian memakannya. Kejadian tersebut
membuat para sahabatnya terheran-heran. Akhirnya mereka bertanya,
“Siapakah orang itu?.” Maka Al-Faqih Al-Muqaddam menjawab, “Dia
adalah Nabi Khidir alaihis salam.”
Beliau, Al-Faqih Al-Muqaddam, banyak menghasilkan para ulama besar
di jamannya. Beberapa ulama besar berhasil dalam didikan beliau.
Yang paling terutama adalah dua orang muridnya, yaitu Asy-Syeikh
Abdullah bin Muhammad ‘Ibad dan Asy-Syeikh Sa’id bin Umar
Balhaf. Selain keduanya, banyak juga ulama-ulama besar yang
berhasil digembleng oleh beliau, diantaranya Asy-Syekh Al-Kabir
Abdullah Baqushair, Asy-Syeikh Abdurrahman bin Muhammad
‘Ibad, Asy-Syeikh Ali bin Muhammad Al-Khatib dan saudaranya

Asy-Syeikh Ahmad, Asy-Syeikh Sa’ad bin Abdullah Akdar dan
saudara-saudara sepupunya, dan masih banyak lagi.
Beliau wafat pada tahun 653 H, akhir dari bulan Dzulhijjah. Jazad
beliau disemayamkan di pekuburan Zanbal, di kota Tarim. Banyak
masyarakat yang berduyun-duyun menghadiri prosesi pemakaman
beliau. Beliau meninggalkan 5 orang putra, yaitu Alwi, Abdullah,
Abdurrahman, Ahmad dan Ali.
Radhiyallohu anhu wa ardhah…
[Disarikan dari Syarh Al-Ainiyyah, Nadzm Sayyidina Al-Habib Al-Qutub
Abdullah bin Alwi Alhaddad Ba'alawy, karya Al-Allamah Al-Habib
Ahmad bin Zain Alhabsyi Ba'alawy]

Selasa, 26 Juli 2011

KEUTAMAAN BULAN RAMADHAN


 
1.      Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu :
Adalah Rasulullah SAW memberi khabar gembira kepada para sahabatnya dengan bersabda, "Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan yang diberkahi. Allah mewajibkan kepadamu puasa didalamnya, pada bulan ini pintu-pintu Surga dibuka, pintu-pintu neraka ditutup dan para setan diikat, juga terdapat pada bulan ini malam yang lebih baik daripada seribu bulan, barangsiapa tidak memperoleh kebaikannya maka dia tidak memperoleh apa-apa." (HR. Ahmad dan An-Nasa'i)
2.      Dari Ubadah bin AshShamit, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Telah datang kepadamu bulan Ramadhan, bulan keberkahan, Allah mengunjungimu pada bulan ini dengan menurunkan rahmat, menghapus dosa-dosa dan mengabulkan do'a. Allah melihat berlomba-lombanya kamu pada bulan ini dan membanggakanmu kepada para malaikat-Nya, maka tunjukkanlah kepada Allah hal-hal yang baik dari dirimu. Karena orang yang sengsara ialah yang tidak mendapatkan rahmat Allah di bulan ini." (HR. Ath Thabrani, dan  para  periwayatnya terpercaya)., Al-Mundziri berkata: "Diriwayatkan olehAn-Nasa'i dan Al-Baihaqi, keduanya ari Abu Qilabah, dari Abu Hurairah, tetapi setahuku dia tidak pernah mendengar darinya."
3.      Dari Abu Hurairah radhiallahu 'anhu, bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam bersabda :
"Umatku pada bulan Ramadhan diberi lima keutamaan yang tidak diberikan kepada umat sebelumnya, yaitu : bau mulut orang yang berpuasa lebih harum di sisi Allah dari pada aroma kesturi, para malaikat memohonkan ampunan bagi mereka sampai mereka berbuka, Allah Azza Wa Jalla setiap hari menghiasi Surga-Nya lalu berfirman (kepada Surga), Hampir tiba saatnya para hamba-Ku yang shalih dibebaskan dari beban dan derita serta mereka menuju kepadamu, pada bulan ini para jin yang jahat diikat sehingga mereka tidak bebas bergerak seperti pada bulan lainnya, dan diberikan kepada ummatku ampunan pada akhir malam. "Beliau ditanya, 'Wahai Rasulullah apakah malam itu Lailatul Qadar' Jawab beliau, 'Tidak. Namun orang yang beramal tentu diberi balasannya jika menyelesaikan amalnya." (HR. Ahmad)" Isnad hadits tersebut dha'if, dan diantara bagiannya ada nash-nash lain yang memperkuatnya.

Senin, 25 Juli 2011

Kisah Syeikh Abdul Qadir Jaelani

NAMA besar Syaikh Abdul Qadir al-Jilani sudah tidak asing lagi bagi umat muslim di seluruh dunia, mengingat namanya sering dilafalkan, di buat untuk bertawasul dalam setiap doa mereka. Manakib beliau di Indonesia banyak dibaca, ketika hari asura (10 Muharram), 27 Rajab, Nisfu Sya’ban, hari pertama bulan safar, dan di waktu-waktu lain. Bahkan ada sebagian masyarakat yang membacanya setiap malam Jumat. Kedudukan tinggi beliau dalam hati masyarakat muslim tentu karena karunia Allah semata, dan pasti beliau juga mempunyai kedudukan yang tinggi di sisi-Nya.
Di dunia sufi dan tarekat, beliau dinilai sebagai salah seorang pengembang aliran tarekat Islam, yakni tarekat Qadiriyah, yang kini banyak diikuti Muslim di pelbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia.

Tanah Kelahiran Beliau
Abdul Qadir kecil dilahirkan di kota Gilan atau Jilan, di selatan Laut Kaspia Persia (Iran), tepatnya pada malam 1 Ramadhan 470 H /1077 M. Beliau memiliki nama lengkap Sayyid Muhyiddin Abu Muhammad Abdul Qadir ibnu Abi Shalih Zango Dost Al-Jilani. Kata “Jilani” di belakang nama Syeikh Abdul Qadir tampaknya merujuk pada kampung kelahirannya.
Ayahnya bernama Abu Shaleh. Beliau adalah seorang yang taat beragama dan memiliki hubungan keturunan dengan sayyidina Hasan (putra sulung Sayyidina Ali karramallâhu wajhah). Silsilah lengkapnya adalah: Muhyid-Din Abu Muhammad Abdul Qadir ibnu Abi Shaleh bin Musa bin Abdillah bin Yahya bin az-Zahid bin Muhammad bin Dawud bin Musa bin Abdillah bin Musa al-Jun bin Musa al-Mahd bin Hasan al-Musanna bin Hasan bin Ali bin Abi Talib.
Sementara ibunya bernama Fatimah binti Abdillah ash-Shauma’i, wanita yang terkenal memiliki Maqam Wilayah (seorang waliyullah). Sayyidah Fatimah ash-Shauma’i masih merupakan keturunan sayyidina Husain bin Ali bin Abi Thalib. Dengan demikian, Syaikh Abdul Qadir al-Jilani adalah keturunan Sayyidina Hasan dan Husain.

Terlahir di Tengah Kecamuk Politik
Syaikh Abdul Qadir al-Jilani rahimahumullâh hidup pada abad 11 M, bertepatan dengan 470–561 H. Pada tahun itu, akidah mendapat serangan yang sangat mematikan dari dua kubu, yaitu spiritualisme ekstrem al-Hallaj dan rasionalisme Mu’tazilah.
kekacauan dan pergolakan umat ketika itu membahayakan akidah para pemimpin dan para jendral perang, dan menjerumuskan mereka kedalam kekeruhan politik dan dekadensi moral. Perubahan arah politik ketika itu sudah tidak karuan. Salah satu penyebabnya adalah runtuhnya Bani Buwaihi dari kelompok Syiah dan datangnya dinasti Saljuk untuk menguasai Baghdad. Zaman emas dinasti Abbasiyah telah berlalu. Kekhalifahan Islam jatuh ke tangan khalifah yang lemah. Kendali Khalifah jatuh ke tangan para tentara dan panglima perang yang tamak.
Kendatipun keadaan politik sangat tidak bersahabat, keadaan itu tidak menjadi alasan bagi Abdul Qadir muda untuk ikut terhanyut arus. Malah sebaliknya, beliau lebih menjadikan ini sebagai ujian dan sarana untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah Subhânahu wata‘âlâ. Beliau selalu mengingatkan manusia akan kerendahan dunia dan tak henti-hentinya memberikan wejangan kepada mereka, mendirikan majlis taklim, dan mengajak manusia untuk selalu berjalan mengikuti tuntunan agama. Beliau ibarat purnama dalam kegelapan.

Menimba Ilmu Agama
Sejak kecil, Abdul Qadir dikenal sebagai anak pendiam. Ia mempunyai perangai baik dan sopan santun yang tinggi. Di usia yang masih dini itu, ia kerap kali termenung meghayati arti kehidupan dan pendalaman akidah.
Memasuki usia 18 tahun, kedahagaanya akan ilmu agama mulai tampak. Ia mulai senang berkumpul dengan orang-orang saleh dan mengaji kepada para ulama. Keinginannya yang kuat tidaklah ia biarkan dan menjadi mimpi belaka. Di usia itu ia rela meninggalkan orang-orang yang ia cinta dan membuang kegemaran bermain-main seperti yang di lakukan para remaja saat itu. Tahun 488 H/1095 M, ia berkelana menuju Baghdad yang ketika itu menjadi pusat ilmu pengetahuan.
Ada cerita unik terkait dengan keberangkatannya menuju kota Baghdad. Hikayah ini diceritakan oleh Imam asy-Syathnufi: “Ketika saya meminta izin kepada ibu untuk pergi ke Baghdad guna menuntut ilmu, beliau memberikan bekal kepadaku 40 Dinar dan menjahitnya di bawah ketiak bajuku. Beliau berwasiat kepadaku agar selalu bersifat jujur. Di tengah perjalanan kami, tiba-tiba ada 60 orang penunggang kuda, mereka merampas harta para kafilah. Tidak seorangpun yang mengetahuiku, lalu salah seorang dari mereka mendekatiku dan bertanya kepadaku, “Berapa uang yang kamu bawa wahai orang miskin?” Saya menjawab, “40 dinar.” Kemudian ia bertanya lagi, “Di mana ia kau simpan?” Saya jawab, “Di jahit dalam baju di bawah ketiakku.” Ia mengira aku meledeknya, sehingga ia meninggalkanku dan pergi.
lalu ada perampok lain yang menghampiriku dan bertanya kepadaku seperti pertanyaan orang pertama. Aku pun menjawabnya seperti jawabanku yang pertama. Kemudian dia pun pergi meninggalkanku. Pada akhirnya keduanya bertemu dan melaporkan apa yang telah mereka dengar dariku kepada pemimpin mereka. Pemimpin penyamun itu berkata, “Antarkan aku sekarang kepadanya!” Setelah ia menemuiku, dia bertanya, “Apa yang kamu bawa?” Saya menjawab, “Uang 40 Dinar”. Dia bertanya lagi, “Di mana ia?” Aku menjawab, “Di jahit dalam baju di bawah ketiakku.” Syahdan, ia menyuruhku untuk merobek dan membukanya. Ia pun menemukan uang itu. Setelah itu ia bertanya kepadaku, “Mengapa kamu mengaku?” Saya menjawab, “Aku berjanji kepada ibuku untuk selalu jujur, dan aku tidak ingin mengkhianatinya.”
Mendengar alasanku, orang itu menangis seraya berkata, “Kamu tidak ingin mengingkari janjimu kepada ibumu, sedangkan kami telah menghianati janji kami kepada tuhan selama bertahun-tahun.”
Pemimpin para penyamun itupun bertaubat di hadapanku, dan kawan-kawannya berkata, “Kamu adalah pemimpin kami dalam perampokan, maka sekarang kamu adalah pemimpin kami dalam bertaubat. Akhirnya mereka semua bertaubat dihadapanku dan mengembalikan barang rampasannya kepada para kafilah.

Alhi Riyadhah dan Mujahadah
Kebesaran nama Syaikh Abdul Qadir, baik sebagai ulama yang alim dalam bidang usul fikih atau sebagai teolog ulung, tidaklah ia peroleh dengan mudah. Perjuangan beliau dalam menimba ilmu agama sangatlahlah keras. Ia menghabiskan waktu 32 tahun untuk menimba ilmu agama. Dalam perjalanannya ia sering kehabisan bekal, sehingga tidak jarang ia memakan sisa-sisa semangka dan daun-daun kering di pinggiran sungai dan parit. Usaha yang sangat berat tidaklah berakhir secara sia-sia. Terbukti pada akhirnya beliau dapat menguasai 13 macam ilmu.
Dalam ilmu fikih, ia belajar kepada Abi Sa’ad al Makhzumi–salah seorang ulama bermadzhab Hanafi yang terkenal sangat alim. Ia pun mewarisi kealiman gurunya itu. Salah satu bukti kealiman beliau adalah ketika fatwa beliau diperlihatkan kepada ulama-ulama di Irak. Mereka merasa kagum kepada beliau seraya berkata, “Maha suci Allah yang telah menganugrahkan kepadanya nikmat yang besar.”
Setelah beliau matang dalam ilmu fikih, beliau mulai terasa tertarik untuk mempelajari ilmu batin, yaitu ilmu untuk menata hati. Dalam hal ini, beliau berguru kepada Abi Zakariyya At-Tibrizi. Diceritakan bahwa beliau menjadi murid kesayangan gurunya yang satu ini.
Selain itu, beliau juga mempelajari ilmu tarekat kepada syaikh Muhammad bin Muslim ad-Dabbas. Dalam tempaan gurunya ini, beliau sering melakukan riyadhah dan mulai senang menyendiri untuk menyucikan hati. Diriwayatkan bahwa dalam pengembaraanya ini, Ia selalu di datangi oleh Nabi Khaidir dan para lelaki suci dari alam lain (malaikat).
Setelah 25 tahun, Syek Abdul Qadir Jilani menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang Pasir Irak. Ia benar-benar menjadi orang yang paling disegani dan terkenal sebagai tokoh sufi besar, karena keberhasilannya memadukan ilmu syariat dan tarekat.

Karya-karya Beliau
Syaikh Abdul Qadir adalah seorang tokoh sufi yang menghabiskan sebagian besar hidupnya untuk kepentingan umat. Sebagaian besar jalan yang beliau tempuh adalah dengan cara berdakwah dan mengisi majelis-majelis taklim, sehingga perhatian beliau kepada tulis-menulis sangatlah terbatas. Tapi di tengah-tengah kesibukan itu beliau masih sempat merampungkan beberapa karya, antara lain al-Ghunyah li Thalibi Tharîqil-Haq, Futûhul-Ghaib, al-Fathur-Rabbâni.

Karamah Beliau
Abu Husain al-Yunani berkata, “Saya mendengar Syaikh Izzuddin bin Abdissalam berkata, ‘tidak pernah kita mendengar karamah seseorang secara mutawatir kecuali karamah Syaikh Abdul Qadir al-Jilani’.”
Diriwayatkan dari Siti Fatimah binti Abdillah (ibunda Syaikh Abdul Qadir), bahwa ketika itu di desa Jilan Siti Fatimah terkenal mempunyai seorang bayi yang tidak mau menyusu ketika bulan Ramadhan tiba. Bayi mungil itu adalah Abdul Qadir kecil. Pada suatu hari akhir bulan Sya’ban, langit desa Jilan diselimuti kabut, sehingga para penduduk tidak bisa melihat hilal. Merekapun ragu apakah hari itu sudah termasuk Ramadhan atau belum. Selanjutnya mereka beramai-ramai mendatangi kediaman Siti Fatimah as-Sauma’i, dan menanyakan apakah hari ini Abdul Qadir menyusu atau tidak? Setelah mendapat jawaban dari Siti Fatimah as-Sauma’i bahwa hari itu Abdul Qadir tidak mau menyusu, akhirnya mereka yakin bahwa hari itu sudah memasuki bulan Ramadhan.

Hubungan Guru dan Murid
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Seorang Syeikh tidak dapat dikatakan mencapai puncak spiritual kecuali apabila 12 karakter berikut ini telah mendarah daging dalam dirinya.
  1. Dua karakter dari Allah yaitu dia menjadi seorang yang sattar (menutup aib) dan ghaffar (pemaaf).
  2. Dua karakter dari Rasulullah SAW yaitu penyayang dan lembut.
  3. Dua karakter dari Abu bakar yaitu jujur dan dapat dipercaya.
  4. Dua karakter dari Umar yaitu amar ma'ruf nahi munkar.
  5. Dua karakter dari Utsman yaitu dermawan dan bangun (tahajjud) pada waktu orang lain sedang tidur.
  6. Dua karakter dari Ali yaitu alim (cendas/intelek) dan pemberani.
Masih berkenaan dengan pembicaraan di atas dalam bait Syair yang dinisbatkan kepadanya dikatakan:
Bila lima perkara tidak terdapat dalam diri seorang syeikh maka ia adalah Dajjal yang mengajak kepada kesesatan.
Dia harus sangat mengetahui hukum-hukum syariat dzahir, mencari ilmu hakikah dari sumbernya, hormat dan ramah kepada tamu, lemah lembut kepada si miskin, mengawasi para muridnya sedang ia selalu merasa diawasi oleh Allah.
Syeikh Abdul Qadir juga menyatakan bahwa Syeikh al Junaid mengajarkan standar al Quran dan Sunnah kepada kita untuk menilai seorang syeikh. Apabila ia tidak hafal al Quran, tidak menulis dan menghafal Hadits, dia tidak pantas untuk diikuti.
Ali ra. bertanya kepada Rasulallah SAW, "Wahai Rasulullah, jalan manakah yang terdekat untuk sampai kepada Allah, paling mudah bagi hambanya dan paling afdhal di sisi-Nya. Rasulallah berkata, "Ali, hendaknya jangan putus berzikir (mengingat) kepada Allah dalam khalwat (kontemplasinya)". Kemudian, Ali ra. kembali berkata, "Hanya demikiankahfadhilah zikir, sedangkan semua orang berzikir". Rasulullah berkata, "Tidak hanya itu wahai Ali, kiamat tidak akan terjadi di muka bumi ini selama masih ada orang yang mengucapkan 'Allah', 'Allah'. "Bagaimana aku berzikir?" tanya Ali. Rasulallah bersabda, "Dengarkan apa yang aku ucapkan. Aku akan mengucapkannya sebanyak tiga kali dan aku akan mendengarkan engkau mengulanginya sebanyak tiga kali pula". Lalu, Rasulallah berkata, "Laa Ilaaha Illallah" sebanyak tiga kali dengan mata terpejam dan suara keras. Ucapan tersebut di ulang oleh Ali dengan cara yang sama seperti yang Rasulullah lakukan. Inilah asal talqin kalimat Laa Ilaaha Illallah. Semoga Allah memberikan taufiknya kepada kita dengan kalimat tersebut.
Syeikh Abdul Qadir berkata, "Kalimat tauhid akan sulit hadir pada seorang individu yang belum di talqin dengan zikir bersilsilah kepada Rasullullah oleh Mursyidnya saat menghadapi sakaratul maut".
Karena itulah Syeikh Abdul Qadir selalu mengulang-ulang syair yang berbunyi: Wahai yang enak diulang dan diucapkan (kalimat tauhid) jangan engkau lupakan aku saat perpisahan (maut).
Pada tahun 521 H/1127 M, dia mengajar dan berfatwa dalam semua madzhab pada masyarakat sampai dikenal masyarakat luas. Selama 25 tahun Syeikh Abdul Qadir menghabiskan waktunya sebagai pengembara sufi di Padang pasir iraqdan akhirnya dikenal oleh dunia sebagai tokoh sufi besar dunia Islam. Selain itu dia memimpin madrasah dan ribath di Baghdad yang didirikan sejak 521 H sampai wafatnya di tahun 561 H. Madrasah itu tetap bertahan dengan dipimpin anaknya Abdul Wahab (552-593 H/1151-1196 M), diteruskan anaknya Abdul Salam (611 H/1214 M). Juga dipimpin anak kedua Syeikh Abdul Qadir, Abdul Razaq (528-603 H/1134-1206 M), sampai hancurnya Baghdad pada tahun 656 H/1258 M.
Syeikh Abdul Qadir juga dikenal sebagai pendiri sekaligus penyebar salah satu tarekat terbesar didunia bernama  tarekat Qodiriah
 `

Akhir Perjalanan Sang Sufi
Hampir selama 40 tahun lamanya Syeikh Abdul Qadir membimbing masyarakat lewat pengajian dan madrasah yang didirikannya. Perjalanan panjang beliau berakhir ketika dipanggil menghadap Sang Ilahi Rabbi pada usia 91 tahun, tepatnya pada malam sabtu tanggal 8 Rabiul Akhir 561 H (1166 M). Jasad beliau di makamkan di kota Baghdad. Kepergianya dari alam dunia barangkali mentiadakan jasadnya dari pandangan kita, tapi nama dan pengaruhnya akan selalu hidup menyinari hati kita.

Ulama Ahli Sunnah Wal Jama'ah

Al Habib Abdullah bin Muhsin bin Muhammad bin Muhsin  bin Husin Al-Atthas  dilahirkan di desa Kasri daerah Hurah, Hadramaut, pada hari Selasa 20 Jumadil Awwal tahun 1265 H. bertepatan dengan tahun 1849 M. Dikalangan awam lebih mengenal dengan sebutan Habib Kramat Empang.
Beliau berguru kepada :
1. Syaikh Umar bin Faraj bin Sabbah
2. Al-Habib Abubakar bin Abdullah Al-Atthas
3. Al-Habib Sholeh bin Abdullah Al-Atthas, di desa Ammad, Hadramaut.
4. Al-Habib Ahmad bin Muhammad Alhabsyi
5. Al-Habib Abdullah bin Alwi Alaydrus, di desa Burdi, Hadramaut, disini ia bermukim cukup lama untuk menuntut ilmu dan membaca beberapa kitab diantaranya  kitab yang dikarang oleh Habib Ahmad  bin Zain Alhabsyi.
6. Al-Habib Ahmad bin Muhammad Al-Muhdor
7. Al-Habib Ahmad bin Abdillah Albar
8. Syekh Abdullah bin Ahmad Baswedan, di Karbah, Hadramaut, ia juga bermukim disini.
Pada tahun 1284 pergi melaksanakan Haji di Mekah , setelah menunaikan ibadah Haji  tidak pulang ketempat tinggalnya Kasri, Hadramaut tapi langsung menuju Pulau Jawa, Indonesia menuntut ilmu kepada Habib Ahmad bin Muhammad bin Hamzah Al-Atthas, di Pekojan, Azzawiyah. Setelah beberapa lama menuntut ilmu kemudian ia pergi menuju Pekalongan,Jawa Tengah. Setelah itu iapun menetap di Empang, Bogor.
Al-Habib Abdullah mengadakan pengajian/majelis ta’lim  dirumah kemudian di Masjid  yang didirikannya dekat rumahnya yang diberi nama  Masjid An-Nur. Muridnya banyak sekali, diantaranya adalah :
1. Al-Habib Alwi bin Muhammad bin Thahir Al-Haddad, Bogor.
2. Syekh Abdullah bin Muhammad Arfan Baraja’, yaitu sewaktu berkunjung ke Indonesia, dimana ia mencatat banyak nasehat-nasehat  dari habib Abdullah, kemudian kembali ke Tarim, Hadramaut dan wafat disana.
3. Al-Habib Abdullah wafat di Empang, Bogor pada hari selasa tanggal  29 Zulhijjah 1351 Hijriyah  bertepatan masuknya dzohor bertepatan akhir tahun, dimakamkan hari Rabu tanggal 1 Muharam 1352 H.

Nama-nama Setan Dan Pekerjaannya


Khanzab adalah setan pengganggu orang salat. Walhan adalah setan yang menggoda orang yang berwudhu dan membisikinya. Dasim adalah setan yang mengganggu keluarga dan rumah. Abyadh, setan paling buruk dan kuat menggoda para nabi.
Nama-nama Setan
Mujahid berkata,"Di antara keturunan setan adalah Laqnis dan Walhan,keduanya menggoda orang yang bersuci dan sholat. Keduanya digelari dengan al-Hafaf dan Murrah. Zalanbur, Setan yang menggoda di pasar yang  menghiasi hal yang sia-sia, sumpah, dusta dan memuji barang dagangannya. Bathar setan yang menggoda orang yang tertimpa musibah, membisikinya supaya mencakar wajah, memukul pipi, dan merobek kantong bajunya sendiri. Al-'Awar adalah setan penggoda orang yang berzina dengan menyebarkannya di kelamin laki-laki dan ketuaan pada perempuan."
Mathus, setan pemilik berita dusta yang disebarkan melalui mulut-mulut manusia yang tidak ada sumbernya. Dasim, yakni bila seorang memasuki rumah tanpa mengucapkan salam dan tidak mengingat Allah, maka dia dapat melihat harta kekayaan seseorang selama belum di angkat atau diperbaiki tempatnya. Bila seseorang makan dan tidak membaca basmallah, maka dia akan makan bersamanya.
Al 'Amasy berkata,"Ketika aku masuk ke dalam rumah dan tidak menyebut nama Allah SWT, serta tidak bersalam aku melihat api. Aku berkata,"Angkatlah, dan aku berbantahan dengannya. Kemudian aku ingat dan berkata, "Dasim, Dasim, Aku berlindung kepada Allah SWT darinya."
Ubay bin Kaab meriwayatkan dari Nabi SAW. Beliau bersabda,"Sesungguhnya wudhu itu ada setannya yang bernama Walhan. Maka takutlah kalian semua dari sifat was-was pada air."Diriwayatkan oleh Tirmidzi.
Muslim meriwayatkan dari Ustman bin Abi Al Ash. Dia berkata,"Ya Rosulullah, setan telah menghalangi antara diriku dan salatku dan tanda-tanda yang ia kenakan padaku." Rosulullah bersabda,'Itu adalah setan yang di sebut Khanzab. Maka bila engkau merasakannya, berlindunglah kepada Allah darinya, dan meludahlah ke sebelah kirimu tiga kali.' Maka aku melakukan itu dan Allah menghilangkannya dariku."


Selasa, 05 Juli 2011

PERISTIWA KARBALA


         Pada tahun enam puluh Hijriyah Kholifah Muawiyah meninggal dunia di Syam. Kemudian sesuai dengan wasiatnya maka yang menggantikannya adalah putranya yang bernama Yazid.
         Penunjukan ini tentu mengundang reaksi dari para tokoh, terutama dari keluarga besar Bani Hasyim. Sebab kebiasaan jelek dari Yazid, seperti meminum minuman keras dan lainnya yang jelas jelas melanggar agama, bukan rahasia lagi bagi masyarakat saat itu.
          Tapi karena tangan besi yang dilakukan oleh pemerintah saat itu, maka sangat sedikit dari masyarakat yang berani menentangnya.
  Selanjutnya setelah mendapat baiat dari penduduk Syam, maka guna mendapatkan baiat dari Sayyidina Husin ra dan dari Bani Hasyim lainnya yang berada di Madinah, Yazid segera mengirim surat ke Walid bin Uqbah selaku Kepala Daerah Madinah.
Dalam surat itu Yazid memberitahukan bahwa Kholifah Muawiyah telah meninggal dunia dan dirinya telah ditunjuk sebagai penggantinya. Kemudian dalam surat tersebut Yazid memerintahkan kepada Walid bin Uqbah agar secepatnya mendapatkan baiat dari tokoh tokoh di Madinah, terutama dari Sayyidina Husin ra dan dari Bani Hasyim yang lain.
Tidak lama setelah menerima surat tersebut Walid bin Uqbah segera memanggil Sayyidina Husin ra yang saat itu sedang berada di Masjid bersama sahabat sahabatnya.
Malam itu juga Sayyidina Husin ra datang kerumah Walid bin Uqbah. Beliau datang seorang diri, sedang ditempat Walid selain Walid hanya ada Marwan yang sedang duduk disudut ruangan.
Selanjutnya setelah Walid bin Uqbah menyampaikan berita mengenai meninggalnya Kholifah Muawiyah serta penunjukan Yazid sebagai penggantinya, maka Walid bin Uqbah selaku Kepala Daerah meminta Baiat dari Sayyidina Husin ra.
Mendengar pemberi tahuan dan permintaan tersebut Sayyidina Husin ra segera menyampaikan ucapan duka cita atas meninggalnya Kholifah Muawiyah. Namun mengenai permintaan Baiat tersebut beliau beralasan bahwa orang seperti dia tidak boleh Baiat secara sembunyi sembunyi, tapi harus Baiat dihadapan halayak ramai.
Rupanya alasan tersebut bisa diterima oleh Walid bin Uqbah, karena dalam benaknya dia berpendapat apabila Sayyidina Husin ra sudah Baiat dihadapan halayak ramai pasti seluruh penduduk Madinah akan Baiat.

Keesokan harinya Sayyidina Husin ra mempersiapkan satu perjalanan yang masih dirahasiakannya, dan seharian beliau tidak keluar dari rumahnya. Sedang Walid bin Uqbah pada hari itu sibuk menerima tamu tamu yang berta’ziah atas meninggalnya Kholifah Muawiyah.
           Selanjutnya pada malam harinya dalam rangka menghindari Baiat kepada Yazid, malam itu juga Sayyidina Husin ra bersama keluarganya secara diam-diam meninggalkan Madinah menuju Mekah. Tepatnya malam minggu tanggal dua puluh delapan Rajab tahun enam puluh Hijriyah.
Kemudian setelah melalui dan melewati jalan yang tidak biasa dilalui oleh para Musafir, karena kepergiannya takut diketahui oleh orang orangnya Walid bin Uqbah, maka akhirnya sampailah Sayyidina Husin ra dikota Mekah dengan selamat.

          Berita sampainya Sayyidina Husin ra dan keluarganya di Mekah  tersebar  keberbagai daerah. Orang-orang Kufah yang dikenal sebagai Syi’ahnya Imam Ali kw  dan Imam Hasan ra begitu mendengar berita tersebut, segera berkirim surat ke Sayyidina Husin ra. Mereka meminta agar Sayyidina Husin ra mau datang ke Kufah untuk di baiat sebagai Kholifah. Dan apabila tidak mau, maka beliau harus bertanggung jawab dihadapan Alloh SWT, atas kedholiman yang terjadi.
           Namun meskipun surat yang dikirim dari Kufah tidak ada henti-hentinya, Sayyidina Husin ra tetap tidak mau pergi ke Kufah.
           Hal mana karena beliau masih ingat  penghianatan orang-orang Kufah terhadap ayahnya dan saudaranya. Mereka mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait, tapi kenyataannya mereka justru berkhianat.
        Setelah melalui berbagai surat gagal, maka orang-orang Kufah tersebut mengutus beberapa orang guna menemui Sayyidina Husin ra, meminta pada beliau agar mau datang ke Kufah untuk di Baiat sebagai Kholifah.        
          Sebagai orang yang arif lagi bijaksana, walaupun sudah berkali kali di khianati oleh orang-orang yang mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait, beliau akhirnya mengutus Muslim bin Agil  (sepupunya) ke Kufah guna membuktikan apa yang sudah mereka sampaikan.
          Sesampainya Muslim bin Agil ra di Kufah, puluhan ribu penduduk Kufah menyambutnya serta membaiatnya sebagai wakil dari Sayyidina Husin ra.
         Muslim bin Agil segera mengirim surat ke Sayyidina Husin ra, memberitahukan mengenai keadaan dan apa yang terjadi di Kufah, serta mengharap agar Sayyidina Husin ra segera berangkat ke Kufah.
         Setelah menerima surat tersebut, Sayyidina Husin ra. segera memutuskan untuk segera berangkat ke Kufah. Kemudian rencana tersebut beliau sampaikan ke famili-familinya serta sahabat-sahabatnya.
          Abdulloh bin Abbas sepupu Imam Ali kw begitu mendengar rencana Sayyidini Husin ra tersebut, segera mendatangi Sayyidina Husin ra dan menasihatinya agar menggagalkan rencananya. Sebab Abdulloh bin Abbas ra tahu benar watak orang-orang Kufah yang selalu mengaku sebagai pecinta Ahlul Bait tersebut.
        
        Dengan harapan dapat menyelamatkan negara dari orang-orang yang tidak layak memimpin negara, maka Sayyidina Husin ra terpaksa menolak nasehat Abdulloh bin Abbas ra dan tetap akan berangkat ke Kufah.
         Kemudian pada tanggal sembilan Dhulhijjah (hari Tarwiyah) Sayyidina Husin ra bersama keluarganya dan beberapa orang Anshor meninggalkan  Mekah menuju Kufah.
        Namun apa yang terjadi di Kufah ?
        Yazid yang men’jabat sebagai Khalifah di Syam, begitu mendengar bahwa orang-orang Kufah sudah memihak dan membaiat Muslim bin Agil ra  sebagai  wakil dari  Sayyidina  Husin ra, segera  mengangkat Ubaidillah bin Ziyad sebagai Kepala Daerah Kufah yang baru menggantikan Nu’man bin Basyir.
        Berbeda dengan Kepala Daerah yang lama, Ubaidillah bin Ziyad orangnya tegas, kejam, cerdik dan lihai serta pandai mempengaruhi penduduk Kufah. Sehingga tidak lama kemudian penduduk Kufah sudah berpaling dari Muslim bin Agil ra. Mereka yang menyatakan dirinya sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait dan membaiat Muslim bin Agil ra  sebagai  wakil  dari  Sayyidina  Husin ra itu  telah  berkhianat. Mereka berubah haluan, mereka terpengaruh oleh bujukan dan rayuan Ubaidillah bin Ziyad dan berbalik menjadi pengikut Yazid.
          Muslim bin Agil ra tidak berdaya dan tidak bisa berbuat apa apa melihat keadaan yang menyedihkan tersebut. Bahkan setelah melalui pengejaran, akhirnya Muslim bin Agil ra meninggal dunia  ( terbunuh Syahid ).
           Sayyidina Husin ra yang sedang diperjalanan bersama rombongannya dari Mekah ditambah orang-orang yang bergabung dengannya diperjalanan, ketika mendengar berita mengenai keadaan di Kufah serta kematian Muslim bin Agil ra, segera berkata kepada rombongannya sbb;
           Hai orang-orang, kita telah dikhianati oleh orang-orang Kufah. Barang siapa akan meninggalkan rombongan, saya persilahkan dan dia tidak bersalah.
           Mendengar kata-kata Sayyidina Husin ra dan mengetahui keadaan di Kufah, maka sebagian rombongannya ada  yang  meninggalkan  rombongan. Tinggal Sayyidina Husin ra dan rombongannya yang datang bersamanya dari Mekah.
         Tidak lama kemudian, Sayyidina Husin ra dan rombongannya dihadang oleh pasukan Ibin Ziyad yang berkekuatan seribu personil dipimpin oleh Al Hur bin Yazid At Tamimi.
          Selanjutnya begitu berhadapan dengan mereka, Sayyidina Husin ra segera berkata; Wahai orang-orang, sebelumnya saya mohon maaf  kepada Alloh dan kepada kalian, sebenarnya saya tidak akan datang ketempat kalian terkecuali setelah menerima surat-surat dari kalian  dan  utusan kalian  yang  meminta  pada  saya agar  saya mau datang ketempat kalian. Dan sekarang saya sudah datang,  apabila kalian dengan senang hati mau menerima kami, maka kami akan masuk kota kalian. Tapi jika kalian tidak senang dengan kedatangan kami, maka kami akan kembali ketempat dari mana kami berangkat.
       Setelah mendengar kata-kata Sayyidina Husin ra mereka menjawab; Kami hanya diperintah untuk membawa kalian ke Ibin Ziyad.
        Mendengar kata-kata tersebut Sayyidina Husin ra segera mengajak rombongannya kembali ke Mekah, tapi dihalangi oleh Al Hur dan anak buahnya.
         Melihat kelakuan mereka tersebut Sayyidina Husin ra bertanya ;
         Apa maksud kalian?
        Al Hur menjawab; Saya tidak diperintah untuk memerangimu, tapi saya diperintah untuk membawamu kehadapan Ibin Ziyad. Karenanya  jangan  kemana - mana dulu,  sampai aku mengirim surat ke Ibin Ziyad. Dan kamu juga berkirimlah surat ke Yazid dan Ibin Ziyad, semoga Alloh menyelamatkan aku dari urusanmu.
Tidak berapa lama kemudian, datang Umar bin Saad bersama tentaranya yang berjumlah empat ribu orang. Tepatnya hari itu, jum’at tanggal lima Muharrom tahun enam puluh satu Hijriyah.
          Kemudian Umar bin Saad memberi tahu Sayyidina Husin ra bahwa Ibin Ziyad memerintahkannya, agar melarang Sayyidina Husin ra mengambil air, sampai Sayyidina Husin ra mau membaiat Yazid.
Sayyidina Husin ra menjawab bahwa dia datang ketempat itu dikarenakan surat surat yang dikirim oleh orang orang Kufah yang memintanya agar mau datang ke Kufah. Bahkan ada beberapa orang yang datang mengundangnya keKufah. Tapi apabila sekarang dia tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanannya menuju Kufah, maka Sayyidina Husin ra mengajukan tiga pilihan.
Yang pertama dia akan kembali Ke Hijaz.
Atau dia akan pergi kedaerah lain yang dia pilih.
Atau dia akan ke Syam menemui Yazid.
          Selanjutnya oleh karena Sayyidina Husin ra tidak mau Baiat kepada Yazid dan hanya memberikan tiga pilihan, maka sejak saat itu Sayyidina Husin ra dan rombongannya dilarang mengambil air.
          Tapi tidak lama kemudian, melihat banyak anak anak yang kehausan dan melihat akibat dari tindakannya tersebut, hati Umar mulai iba, kemudian dia berkirim surat ke Ibin Ziyat memberi tau tiga pilihan yang diajukan oleh Sayyidina Husin ra serta meminta Izin agar rombongan Sayyidina Husin ra diperbolehkan mengambil air Sungai untuk minum.
          Mengapa Umar bin Saad berubah sikapnya agak lunak? Diceritakan bahwa perubahan tersebut diantaranya dikarenakan telah terjadi satu peristiwa yang luar biasa, dimana saat itu Sayyidina Husin ra karena haus, pergi  kesungai  untuk  minum  dan  mengambil air untuk minumnya kaum wanita dan anak-anak. Tapi beliau dihalangi oleh perajurit Umar bin Saad. Saat itu ada seorang yang  bernama  Abdulloh bin Abi Hushoin berkata kepadanya:  Hai Husin, tidakah engkau melihat air yang jernih itu?. Tapi demi Alloh aku bersumpah bahwa engkau tidak akan meminumnya, meskipun satu tetes., hingga engkau mati kehausan.
          Mendengar dan melihat sikap orang yang benar-benar ingin melihat dia mati kehausan itu, Sayyidina Husin ra segera meninggalkan tempat tersebut  dalam keadaan haus yang luar biasa, sambil berdoa  memohon kehadirat Alloh SWT agar orang tersebut merasakan dahaga yang tidak bisa dihilangkan.
          Tidak lama setelah Sayyidina Husin ra memanjatkan doanya, Abdullah bin Abi Hushoin merasa haus yang luar biasa. Sehingga dia tidak sanggup menahan dahaganya. Iapun segera minum, namun meskipun dia sudah minum banyak, tapi rasa hausnya masih tetap. Karenanya dia terus minum, sampai perutnya yang besar itu terasa kembung.
        Tak tahan merasa dahaga tapi perutnya terasa penuh air, maka diapun akhirnya tumpah tumpah. Namun kejadian ini tidak berhenti, karena rasa haus yang dia rasakan tidak berhenti. Selanjutnya setiap dia minum, dia selalu tumpah, karena perutnya yang sudah kembung itu tidak bisa lagi menerima air.
         Akhirnya  dalam keadaan lemas dan tidak berdaya dia menghembuskan nafas yang terakhir sambil memegang lehernya
          Kejadian tersebut disaksikan oleh beberapa temannya sehingga menjadi pembicaraan anak buah Umar bin Saad. Mungkin kejadian ini menambah alasan, mengapa sikap Umar bin Saad berubah agak lunak dan meminta izin ke Ibin Ziyad.
 
        Ternyata Ibin Ziyad setelah membaca surat dari Umar bin Saad tersebut justru marah. Kemudian dia Segera mengirim Syamer bin Dhil Jausyan membawa surat untuk Umar bin Saad yang isinya menolak tiga pilihan Sayyidina Husin ra. tersebut serta menolak permintaan izin Umar bin Saad dan memberi tahu bahwa dia dalam menghadapi Sayyidina Husin ra, hanya diberi dua pilihan yaitu antara Baiat kepada Yazid atau perang.
Kepada Syamer bin Dhil Jausyan Ibin Ziyad berpesan ; Apabila Umar mau mengikuti perintahku, maka ikutilah dia, tapi apabila dia menolak, maka tebaslah lehernya.
Ternyata setelah mendengar apa yang telah disampaikan oleh Syamer bin Dhil Jausyan tersebut, Umar bin Saad mau menerima dan akan melaksanakan perintah Ibin Ziyad tersebut.
        Selanjutnya  oleh karena  Sayyidina Husin ra  tetap tidak  mau  Baiat kepada Yazid, maka pagi harinya Umar bin Saad segera mempersiapkan tentaranya guna menyerang Sayyidina Husin ra.
        Kemudian melihat musuh sudah bersiap-siap akan menyerang, maka Sayidina Husin ra segera mempersiapkan pasukannya guna menghadapi Umar bin Saad dan pasukannya. Sedang kaum wanita disuruh tetap tinggal didalam kemah bersama putranya yang bernama Ali Al Aushot yang sedang sakit.
        Melihat musuh yang begitu banyak jumlahnya, diperkirakan mencapai lima ribu orang, sedang beliau dan orang-orangnya hanya berjumlah tujuh puluh dua orang, maka beliau hanya bisa pasrah kepada Alloh SWT. Namun beliau tidak takut dan tidak gentar serta tidak mengenal Tagiyah dalam menghadapi musuh-musuhnya yang begitu banyak.
        Beliau menghadapi mereka dalam keadaan puasa, karena hari itu tepat tanggal sepuluh Muharrom. Dimana Rosululloh SAW berpuasa pada tanggal itu dan  memerintahkan  para Sahabat agar berpuasa. Bahkan agar berbeda dengan orang-orang Yahudi yang juga berpuasa pada tanggal sepuluh Muharrom, maka Rosululloh SAW juga memerintahkan agar Umatnya berpuasa pada tanggal sembilan Muharrom, yang  kemudian dikenal dengan puasa Tasua dan Asyuro.
Tetesan  Air  Mata
        Ada satu kejadian yang luar biasa, yang perlu kami sampaikan disini, dan sekaligus sebagai pelajaran bagi kita.
        Pagi sepuluh Muharrom itu, disaat Sayyidina Husin ra sedang memperhatikan musuh yang ada dihadapannya dan akan menyerangnya, tiba-tiba air matanya menetes. Hal ini menunjukkan ada sesuatu yang membuatnya menangis.
         Melihat kejadian tersebut, Siti Zainab ra yang ada didekatnya segera bertanya ; Mengapa air matamu sampai menetes wahai saudaraku, apakah engkau takut?, padahal engkau akan bertemu dengan saudaramu, ibumu, ayahmu dan datukmu Rosululloh Saw
          Sayyidina Husin ra segera menjawab: Bukan karena itu air mataku menetes, tapi aku melihat orang-orang yang akan membunuhku itu masuk Neraka. Maka aku merasa kasihan pada mereka dan aku memohon kepada Alloh Swt agar mereka dimasukkan Surga.
          Sungguh kejadian ini membuktikan kebesaran jiwa serta kemuliaan sifat dan akhlaq Sayyidina Husin ra. Sesuatu yang telah diwarisinya dari datuknya baginda Rosululloh SAW. Seorang yang telah menyandang gelar, sebagai Rahmatan Lil Alamin.
          Alloh SWT telah berfirman:
ÙˆَÙ…َا  اَرْسَÙ„ْÙ†َÙƒَ  اِلاَّ  رَØ­ْÙ…َØ©ً  Ù„ِÙ„ْعَالَÙ…ِينْ
                      ( الانبياء -  107   (
     Dan kami tidak mengutusmu terkecuali sebagai Rahmat bagi  alam semesta.                                     
                                                                    ( Al Anbiya’ ayat 107)
        Bukan hanya anak buahnya atau pecintanya yang didoakan masuk Surga, tapi sampai musuh musuhnya dan orang-0rang yang akan membunuhnya, beliau doakan masuk Surga.
        Beliau Sayyidina Husin ra menginginkan kehidupan mereka, tapi mereka justru menginginkan kematiannya.
        Demikian Sayyidina Husin ra, seorang Ahlul Bait yang berhati mulia, pemaaf dan tidak sedikitpun mempunyai rasa dendam pada orang lain. Baik terhadap musuh-musuhnya atau orang-orang yang akan membunuhnya, apalagi terhadap orang-orang yang telah berjasa terhadap Rosululloh SAW dan islam.
         Kejadian diatas sebagai pelajaran bagi kita, agar kita tidak cepat-cepat mengumpat atau mencacimaki orang-orang yang yang berbuat jelek kepada kita dan Ahlul Bait, tapi kita doakan mereka, semoga mereka mendapat hidayah dari Alloh SWT.
         Selanjutnya tidak lama kemudian kedua pasukan sudah berhadapan. Pada awalnya difihak Sayyidina Husin ra, barisan depan ditempati oleh putra-putra Sayyidina Husin ra dan putra-putra saudaranya. Namun kemudian orang-orang Anshar yang bersamanya sejak awal, memprotes dan berkata kepadanya ;
     Wahai putra dari putri Rosululloh SAW, kita sudah ada kesepakatan, bahwa dalam setiap pertempuran kami orang-orang Anshor akan selalu ditempatkan dibarisan terdepan. Tapi mengapa sekarang kami ditempatkan dibarisan kedua?.
       Kemudian Sayyidina Husin ra menjawab; Benar kami ada kesepakatan dengan kalian, tapi kali ini biarlah keluargaku yang berada digaris depan, dan kalian cukup dibarisan kedua saja.
        Mendengar jawaban Sayyidina Husin ra tersebut, orang-orang Anshor itu berkata ;
       Jadi kami diletakkan dibarisan kedua itu agar apabila kalian gugur, maka kami akan dibiarkan oleh musuh. Sebab yang dikehendaki oleh musuh adalah kalian. Dan selanjutnya apabila  kami pulang, maka penduduk Madinah akan berkata; Kalian senang karena pulang dalam keadaan selamat, sedang pemimpin (Sayid) kita, kalian tinggalkan dalam keadaan gugur, dibunuh oleh musuh-musuh kita.
        Demi Alloh kami akan gugur bersama kalian, dalam mempertahankan kebenaran.
        Mendengar apa yang disampaikan, akhirnya Sayyidina Husin ra memberi ijin kepada mereka untuk menempati barisan terdepan.
         Tidak lama kemudian terjadilah pertempuran, dan oleh karena pertempuran ini tidak seimbang, meskipun dari fihak Sayyidina Husin ra sudah menunjukan perlawanan yang luar biasa, maka dari fihak Sayyidina Husin ra korban mulai berjatuhan. Satu demi satu sahabatnya dan keluarganya gugur dan akhirnya Sayyidina Husin ra sendiri juga gugur  Syahid.     
        Berbagai cara mereka lakukan saat menyerang dan membunuh Sayyidina Husin ra, tapi kami selaku penulis buku ini tidak dapat menguraikan kebiadaban tersebut. Dan Kami hanya bisa berucap, Innaa Lillaah Wa Innaa Ilaihi Roojiuun.
        Sebenarnya Sayyidina Husin ra sudah merasa bahwa dirinya akan meninggal pada hari itu, sebab pada pagi hari itu beliau bermimpi bertemu dengan datuknya, dimana Rosululloh SAW saat itu berkata kepadanya;
         Malam ini engkau berbuka bersama kami.
         Karenanya disaat saudarinya meminta kepadanya agar beliau mau membatalkan puasanya sebelum berperang, beliau  menjawab:
         Saya akan berbuka bersama datukku.
         Dengan demikian hari itu atau hari Asyuro adalah hari kemenangan dan kegembiraan bagi Sayidina Husin ra, sebab pada hari itu beliau bertemu dengan Rosululloh SAW, bertemu dengan ayahnya Imam Ali kw dan dengan ibunya Fathimah Az Zahra ra serta dengan saudaranya Sayyidina Hasan ra. Sehingga hari itu merupakan hari yang sudah lama dinanti-nantikannya.
          Karena kebenaranlah beliau berkorban, dan karena berkorban itu beliau mendapat kedudukan yang sangat tinggi disisi Alloh SWT sebagai Syahid.
          Satu-satunya anak lelaki dari Sayyidina Husin ra yang masih hidup dan selamat dari kekejaman orang orang Kufah atau orang-orang yang pernah mengaku sebagai Syi’ahnya Ahlul Bait adalah Sayyidina Ali Zainal Abidin atau Ali Al Aushot ra. Beliau selamat karena saat itu beliau sedang sakit dan berada didalam kemah bersama kaum wanita.
         Kemudian setelah peperangan selesai, semua keluarga Sayyidina Husin ra  yang  masih  hidup, yang  terdiri dari orang orang perempuan dan Sayyidina Ali Zainal Abidin ra ditawan dan dibawa ke Ibin Ziyad di Kufah. Tidak ketinggalan kepala Sayyidina Husin ra dan kepala kepala Sahabatnya juga dibawa kehadapan Ibin Ziyad. Jarak antara Karbala dengan Kufah kurang lebih dua puluh lima Mil.
Imam Thurmudhi meriwayatkan:
Ketika kepala Sayyidina Husin ra diletakkan dihadapan Ibin Ziyad, maka dengan sombongannya Kepala Daerah Kufah itu mempermainkan hidung dan mulud sayyidina Husin ra dengan tongkatnya.
Melihat kebiadaban Abdullah bin Ziyad tersebut, Anas bin Malik yang saat itu berada diruangan itu tidak dapat menahan tangisnya. Sedang Zeid bin Argom yang juga berada diruangan itu segera bereaksi dan berteriak; Angkat tongkatmu hai Ibin Ziyad, demi Alloh saya selalu melihat Rosululloh Saw menciumi antara mulut dan hidungnya.
Kemudian sambil menoleh ke Ibin Ziyad, Zeid bin Argom meneruskan perkataannya; Saya sering melihat Rosululloh Saw mendudukkan Al Hasan dipangkuan kanannya dan Al Husin dipangkuan sebelah kiri, lalu bagaimana engkau sampai hati memperlakukannya seperti itu, wahai Ibin Ziyad.
Mendengar kata kata tersebut Ibin Ziyad marah dan hampir membunuhnya dan diapun berkata; Andaikata kau bukan seorang yang sudah tua, pasti aku sudah menebas lehermu.
         Selanjutnya atas perintah Ibin Ziyad, kepala kepala tersebut diarak keliling  kota..         
         Sayyidina Ali Zainal Abidin ra sendiri hampir dibunuh dihadapan Ibin Ziyad andaikata Sayyidah Zainab ra ( saudari Imam Husin ra ) tidak melarang mereka, dan sambil merangkulnya beliau berkata, bunuhlah aku dahulu sebelum kalian membunuhnya. Namun akhirnya Ibin Ziyad mengurungkan niatnya, sehingga selamatlah Sayyidina Ali Zainal Abidin ra dari kekejaman Ibin Ziyad.
         Kemudian para tawanan dan kepala Sayyidina Husin ra dibawa dari Kufah ketempat Yazid di Damaskus (Syam). Pada awalnya Yazid yang sebelumnya senang dengan tindakan Ibnu Ziyad tersebut, begitu menyaksikan apa yang ada dihadapannya mulai menyesal. Terutama setelah melihat reaksi penduduk Damaskus yang tidak senang melihat apa yang terjadi. Bahkan Yazid sampai mengumpat Ibin Ziyad dan berkata, semoga Alloh melaknat Ibnu Sumayyah.. Tapi karena tujuannya untuk politik, yaitu mempertahankan kekuasaannya, maka selanjutnya kepala Sayyidina Husin ra diarak keberbagai daerah.
          Namun sesampainya arak-arakan tersebut dikota Asgolan (Palestina), maka atas perintah Kepala Daerah Asgolan yang dikenal berbudi baik, kepala Sayyidina Husin ra segera dimakamkan.
           Menurut ahli sejarah keberadaan kepala Sayyidina Husin ra di Asgolan berlangsung hingga tahun lima ratus empat puluh delapan hijriyah.
        Selanjutnya, disaat Asgolan dibawah kekuasaan Fatimiyyun di Mesir. Pada waktu itu Kepala Daerah Asgolan mengirim surat ke Mesir memberi tahu kepada Kholifah, bahwa orang orang barat berencana menguasai Asgolan (Palestina). Saya takut jika Asgolan sampai dikuasai mereka, maka apa yang ada di Asgolan akan dibawa ketempat mereka. Dan oleh karena kepala Sayyidina Husin ra berada di Asgolan, maka saya khawatir mereka juga akan mengambilnya dan dibawa kenegara mereka. Untuk itu kirimlah orang yang anda percayai untuk mengurus dan membawa kepala tersebut.
         Setelah menerima surat tersebut, pemerintahan Fatimiyyun di mesir segera mengirim pasukan ke Asgolan dengan dibekali uang yang cukup guna keperluan pemindahan kepala Sayyidina Husin .